Jakarta, IDN Times – Bivitri Susanti, seorang ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, meminta aparat penegak hukum untuk menanggapi laporan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang mencantumkan Presiden ke-7, Joko “Jokowi” Widodo, dalam daftar pemimpin paling korup.
Nama Jokowi muncul bersama dengan mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, yang saat ini berada di India.
“Saya meyakini bahwa temuan dari organisasi jurnalis investigasi ini pantas untuk ditindaklanjuti, baik oleh media di Indonesia maupun oleh penegak hukum di negara ini. Jika ada yang merasa temuan tersebut tidak akurat, silakan buktikan. Tindak lanjut inilah yang seharusnya dilakukan,” ujar Bivitri dalam percakapan pada Rabu (1/1/2025).
Dia menegaskan bahwa tuduhan mengenai dugaan korupsi yang melibatkan Jokowi serta pelanggaran terhadap berbagai regulasi telah banyak dibahas di publik. Bahkan, terdapat Mahkamah Rakyat yang pada Juni 2024 menyatakan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut terbukti melanggar janjinya sebagai Presiden.
“Ada banyak demonstrasi yang menentang Jokowi, dan berbagai pendapat dari sejumlah profesor. Semua ini perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas,” jelasnya.
1. Soeharto Pernah Muncul di Majalah Time Karena Dugaan Korupsi
Lebih jauh, Bivitri menyebutkan bahwa pencantuman nama Jokowi dalam nominasi pemimpin paling korup versi OCCRP mengingatkan pada kasus mantan Presiden Soeharto, yang tampil di sampul Majalah Time pada tahun 1999. Saat itu, majalah tersebut menerbitkan hasil investigasi berjudul Soeharto Inc.
Majalah asal Amerika Serikat itu melaporkan bahwa kekayaan keluarga Soeharto diperkirakan mencapai 15 miliar dolar AS dalam berbagai bentuk di seluruh dunia. Salah satu poin yang mengejutkan adalah adanya dugaan transfer 9 miliar dolar AS dari Indonesia ke bank di Swiss, yang kemudian diduga ditransfer kembali ke Austria.
Bivitri menekankan bahwa laporan jurnalistik tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana dalam hukum.
“Sangat tidak tepat untuk memandang produk jurnalisme investigatif dalam kerangka hukum pidana. Dalam kasus publikasi mengenai Soeharto di Majalah Time tahun 1999, hingga kini tidak ada bukti di pengadilan yang menunjukkan adanya tindak pidana korupsi. Kita harus memahami bahwa jurnalisme berfungsi untuk melaporkan hal-hal yang tidak dapat diusut menggunakan sistem hukum yang korup,” paparnya.
Oleh karena itu, hasil dari jurnalisme investigasi sering kali dijadikan rujukan oleh masyarakat sipil. Dia juga tidak meragukan kredibilitas OCCRP yang menempatkan Jokowi dalam daftar pemimpin paling korup, karena para juri yang menentukan daftar tersebut adalah jurnalis investigasi.
“Kita bahkan bisa melacak dengan jelas berbagai kegiatan organisasi ini dan siapa yang mendanainya,” tambah Bivitri.
Baca Juga: Jokowi Jadi Finalis Pemimpin Terkorup, Projo: Silakan Proses Hukum
2. PSI Menilai Laporan OCCRP Sebagai Suara Kelompok yang Tersakiti
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Pilihan Editor
Menanggapi daftar pemimpin paling korup versi OCCRP, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memberikan tanggapan yang tajam. Partai yang dipimpin oleh Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, menilai daftar tersebut berasal dari kelompok yang tidak puas.
Wakil Ketua Umum PSI, Andy Budiman, menyatakan bahwa daftar tersebut mencerminkan suara dari kelompok yang merasa terluka. Ia juga menyebutkan bahwa masih banyak pihak yang belum bisa menerima hasil Pemilihan Presiden 2024.
“Itu adalah suara dari kelompok yang tidak bisa move on dari kekalahan di Pilpres. OCCRP pun membuka ruang untuk publik menominasikan ‘Corrupt Person of The Year’ hingga 5 Desember 2024, sehingga ada mekanisme polling. Mereka yang tersakiti itu yang menggerakkan suara,” ujar Andy dalam pernyataannya.
Selain itu, ia menyoroti bahwa metodologi publikasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hasil dari OCCRP berbeda dengan survei yang dilakukan melalui pengambilan sampel yang valid.
“Survei ilmiah yang dilakukan dengan pengambilan sampel secara cermat dapat meminimalkan bias,” tambahnya.
3. PSI Menolak Anggapan bahwa Jokowi Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain
PSI juga menegaskan bahwa Jokowi tidak pernah memperkaya diri sendiri atau orang lain secara ilegal, sehingga rilis daftar pemimpin korup versi OCCRP dianggap tidak berdasar.
Andy menegaskan bahwa PSI meminta OCCRP untuk mempertimbangkan tingkat kepercayaan publik yang masih sangat tinggi terhadap Jokowi hingga akhir masa jabatannya.
“Jika Pak Jokowi benar-benar korup, masyarakat pasti menyadarinya dan tingkat kepercayaan akan menurun. Rakyat melihat langsung kinerja Pak Jokowi dan tidak ada indikasi korupsi,” jelasnya.
Di sisi lain, Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI, sempat dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penerimaan gratifikasi berupa fasilitas jet pribadi ke beberapa lokasi, termasuk ke Amerika Serikat (AS).
Kaesang bersama istrinya dan seorang staf menggunakan jet pribadi jenis Gulfstream G650E milik Garena, perusahaan dari Singapura. Garena diketahui juga membuka hub di Solo Technopark dengan kerja sama Pemerintah Kota Solo. Beberapa pihak menduga Kaesang dan istrinya mendapatkan fasilitas jet pribadi tersebut karena hubungan mereka dengan Jokowi.
Namun, KPK menyatakan bahwa penggunaan jet pribadi oleh Kaesang dan istrinya tidak termasuk dalam kategori gratifikasi, karena Kaesang bukan penyelenggara negara dan telah sepenuhnya mandiri dari Jokowi.
Baca Juga: Masuk Daftar Tokoh Korup Versi OCCRP, Jokowi: Ya Dibuktikan